UPACARA UJUNGAN
Indonesia
adalah negara yang memiliki berbagai suku bangsa, budaya dan agama. Dari
keanekaragaman tersebut terciptalah berbagai tradisi yang menjadi ciri khas di
setiap daerah. Selain itu, Indonesia juga di kenal sebagai negara tropis yang
memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Banyak orang yang
beranggapan bahwa musim penghujan adalah musim yang membawa banyak berkah, karena
hujan yang turun memberi berbagai kehidupan bagi makhluk hidup dan bisa juga
digunakan untuk mengairi sawah. Namun sebaliknya, musim kemarau yang
berkepanjangan dianggap sebagai musibah, karena sawah-sawah banyak yang kering
karena tidak terairi dengan baik, hasil panenpun menjadi turun. Dari hal
seperti inilah yang menjadikan munculnya berbagai ritual keagamaan yang menjadi
tradisi di dalam masyarakat. Seperti yang terjadi di Desa Gumelem Wetan,
Kecamatan Susukan, Kabupaten Bnajarnegara, Jawa Tengah. Di Desa Gumelem Wetan
terdapat tradisi yang diberi nama Ujungan, yaitu upacara meminta hujan kepada
Yang Maha Kuasa melalui cara adu kesaktian antara para jawara dengan
menggunakan senjata pemukul yang terbuat dari rotan yang diawali dengan tarian.
Biasanya, ujungan dipentaskan tidak setiap tahun, hanya ketika menghadapi musim
kemarau panjang.
Tradisi
ini telah berlangsung secara turun temurun di Desa Gumelem Wetan. Menurut
sejarah, tradisi ujungan berawal dari perkelahian antara petani di Desa Gumelem
Wetan yang memperebutkan air saat musim kemarau panjang. Oleh karena itu
diadakanlah upacara mujung yang berarti memohon kepada Yang Maha Kuasa agar
diberi hujan sehingga perselisihan tersebut dapat berakhir. Upacara mujung ini
selanjutnya lebih dikenal dengan upacara ujungan. Meskipun terjadi kemarau yang
panjang, namun masyarakat tidak bisa seenaknya menggelar upacara ujungan
tersebut, mereka harus bermusyawarah dahulu dnegan para tetua adat. Upacara
ujunga digambarkan sebagai dua jago atau dua pemain yang ditunjuk secara
langsung oleh tetua adat tanpa adanya persiapan. Kemudian, kedua orang tersebut
saling beradu pukul dengan rotan dan diiringi oleh gendhing Banyumasan.
Para
pemain ujungan ini wajib menggunakan pelindung kepala yang terbuat dari kain
tebal dan berisi sabut kelapa dengan diberi hiasan dari ijuk. Tangan kiri
pemain yang beradu pukul juga menggunakan pelindung yang sama, yang berfungsi
sebagai tameng untuk menahan sabetan, dan tangan kanannya memegang sabetan yang
terbuat dari rotan. Para pemain hanya diperbolehkan memukul lawan dibagian
pinggang ke bawah, serta tidak diperbolehkan memukul perut, dada, dan kepala.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar