Senin, 30 Juni 2014

Tradisi Grebeg Maulud Keraton Yogyakarta

Kawasan Alun-alun Yogyakarta kembali dipadati oleh ratusan bahkan ribuan orang yang ingin menyaksikan acara Tradisi Grebeg Maulud Keraton Yogyakarta 2014 kemarin (14/1) yang telah rutin diadakan. Sebuah acara peringatan yang sarat dengan makna spiritualitas dan budaya luhur.
Menurut sejarahnya Grebeg Maulud yang sekarang dirayakan oleh Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat merupakan bentuk yang sama pada masa Kerajaan Islam Demak sebelum Kerajaan Mataram Islam atau yang kita kenal sebagai Kasultanan Yogyakarta sekarang. Grebeg Maulud ini dahulunya bernama Grebeg Besar (grebeg agung) karena dilaksanakan secara meriah oleh para wali khususnya Sunan Kalijaga pada masa Kerajaan Demak. Sebelum Kerajaan Demak mengadakan grebeg besar ini rupanya ini adalah budaya yang terserap dari Kerajaan Majapahit, dimana pada masa Brawijaya V dinamakan upacara Sradha yang meriah. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh dan digantikan masa Islam dimana Kerajaan Demak berdiri maka seluruh pusaka mili Prabu Brawijawa V di boyong ke kerajaan tersebut, termasuk diantaranya adalah seperangkat gamelan yang disebut Gamelan Kyai Sekar Delima. Kemudia dari upacara Sradha di ganti dengan kata Grebeg diambil dari kata gemuruh yang dalam bahasa jawa adalah anggerabeg.
Maka dari itu tradisi yang sampai saat ini dilestarikan oleh Keraton Yogyakarta bernama Grebeg Maulud karena selain diadakan secara besar-besar juga memperingati Mualid Nabi Muhammad SAW. Moment ini adalah bentuk rasa kecintaan Raja dalam hal ini Sri Sultan HB X kepada rakyatnya dalam bentuk memberikan sejumlah gunungan. Gunungan ini nantinya akan di bagikan di beberapa titi di sejumalah tempat antara lain Alun-alun Utara, mesjid Agung Gedhe Kauman, serta Bangsal Kepatihan (DPRD Yogyakarta).
Semua orang dari berbagai daerah berkumpul disekitar alun-alun utara dan Keraton Yogyakarta, tujuan mereka hanya satu ialah memperebutkan gunungan yang akan keluar hari ini, Selasa (14/1). Terlihat 6 gunungan yang terdiri dari hasil bumi serta gunungan yang berisi ketan kering keluar dari Keraton Yogyakarta sekitar pukul 10.00 WIB. Nantinya setelah di do’akan warga akan memperebutkan hasil bumi tersebut sebagai berkah dari Gusti Allah yang di wakilkan raja.


Memang antusiasme warga dari tahun ketahun tidak surut meskipun telah dilaksakan puluhan kali. Warga yang datang hanya mempunyai satu tujuan ialah ngalap berkah dari apa yang di dapatkan dari gunungan tersebut. Nyatanya momen ini merupakan momen yang sangat di tunggu bukan hanya masyarakat Yogyakarta namun dari luar DI. Yogyakarta. Inilah momen dimana budaya kerajaan Mataram Islam yang sekarang bernama Keraton Yogyakarta melestarikan sedekah dari raja (Sri Sultan) kepada rakyatnya.(Hanung)

Sumber :
www.teraswarta.com

Selasa, 17 Juni 2014

Masjid Saka Tunggal, Cikakak, Wangon

Masjid Saka Tunggal terletak di desa Cikakak kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, provinsi Jawa Tengah atau 30 KM kearah barat dari kota Purwokerto . Masjid ini dibangun pada tahun 1288 seperti yang tertulis pada Saka Guru (Tiang Utama) masjid ini. Namun, tahun pembuatan masjid ini lebih jelas tertulis pada kitab-kitab yang ditinggalkan pendiri masjid ini, yaitu Kyai Mustolih. Tetapi kitab-kitab tersebut telah hilang bertahun-tahun yang lalu.

Nama resmi masjid ini adalah masjid Saka Tunggal Baitussalam,  tapi lebih populer dengan nama masjid saka tunggal karena memang Masjid ini hanya mempunyai saka tunggal (tiang penyangga tunggal). Sakatunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan empat sayap ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem, bagian bawah dari saka itu dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang terdapat tulisan tahun pendirian masjid tersebut.


Masjid saka tunggal berukuran 12 x 18 meter ini menjadi satu satunya masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad 15-16M. Sedangkan masjid ini didirikan tahun 1288 M, 2 abad sebelum Wali Songo. Sekaligus menjadikan Masjid Saka Tunggal Baitussalam sebagai Masjid Tertua di Indonesia.

Lokasi
Ditengah suasana pedesaan Jawa yang begitu kental Suasana pedesaan sangat kental. Di kawasan masjid yang dipenuhi dengan kera-kera yang berkeliaran bebas. Bangunan masjid juga sangat unik, beratapkan ijuk serta sebagian dindingnya dari anyaman bambu.

IBU (1)

Rini Tri Puspohardini
Dalam Buku Kudung Saka Bandungan

Ibu,
iki parak esuk
bangbang sumirat jingga
wis wancine wekel makarya
coba pirsanana
piring dhepyah uwuh mblasah
njaluk gawemu dina iki

apa ta endah impenmu wektu iki
rentangan gelang kalung lan peniti
utawa Hongkong Paris lan Itali?

ibu,
putra wayah wis gumregah
ngolah kebon tegal sawah
geneya sliramu katrem ing donyaning sinanjung?

ibu,
ayo enggal wunga
aja angler

kaya tledhek nembe wuru