Kamis, 07 November 2013

Grebeg Mulud


Kata sekaten diambil dari nama gamelan pusaka Kiai Sekati. Gamelan Kiai Sekati  ini terdiri atas dua perangkat gamelan berlaras atau bertiti nada pelog, yaitu Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga. Perayaan sekaten dilaksanakan setiap bulan Rabiul Awal, selama seminggu sebelum hari kelahiran Nabi mUhammad SAW. Pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang merupakan puncak acara sekaten diselenggarakan Garebeg Mulud.

Selama smeinggu menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, gamelan Kiai Sekati diletakkan di pagongan (tempat gong/gamelan) utara dan pagongan selatan, di kompleks Masjid Agung. Gamelan itu ditabuh atau dibunyikan secara terus-menerus, kecuali pada waktu-waktu solat dan pada malam jum’atsampai lewat waktu solat jum’at. Gendhing-gendhing atau lagu-lagu instrumentalia yang diperdengarkan silih berganti, konon diciptakan oleh para wlai, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri, dan Sunan Kudus. Karena gendhing-gendhing itu diciptakan untuk menyiarkan agama islam, maka tidak mengherankan jika nama-namanya berasal dari bahasa Arab dan dilafalkan dengan lafal Jawa, antara lain: Salatun, Subinah, Ngajatun, Sumiyah, dan Jaumi.

Bulan Hijriah Robiul awal dalam kalender Jawa disebut bulan mulud. Itulah sebabnya perayaan Sekaten yang dilakukan oleh orang Jawa disebut Sekatenan juga disebut Garebeg Mulud. Sekatenan atau Garebeg Mulud ini diselelenggarakan di Keraton, baik di Keraton Kasunanan Surakarta maupun di Keraton Kesultanan Yogyakarta. Perayaan Garebeg Mulud biasanya juga dimanfaatkan untuk melakukan Pasowanan (menghadap Raja).

Puncak acara Garebeg Mulud atau Pasowanan Mulud atau Sekaten adalah pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW dan Salawat Nabi di Masjid Agung oleh Kiai Kanjeng Pengulu yang disaksiskan oleh Sultan atau Sunan. Dalam Pasowanan itu Sultan atau Sunan memberi sedekah sejumlah uang logam kepada Masjid Agung, para abdi dalem golongan utama, dan para abdi dalem golongan wiyaga. Yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat adalah arak-arakan sesajian berupa gunungan (tumpeng raksasa). Setelah do’a untuk keselamatan, kesentosaan dan kesejahteraan raja, keluarga raja, dan seluruh rakyat dibacakan. Tumpeng disedekahkan kepada rakyat. Pada saat itu tumprng sangat diperebutkan. Menurut kepercayaan orang Jawa, siapa yang mendapat bagian dari tumpeng itu berarti mendapat berkah dari raja.