Kata sekaten diambil dari nama gamelan
pusaka Kiai Sekati. Gamelan Kiai Sekati
ini terdiri atas dua perangkat gamelan berlaras atau bertiti nada pelog,
yaitu Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga. Perayaan sekaten dilaksanakan setiap
bulan Rabiul Awal, selama seminggu sebelum hari kelahiran Nabi mUhammad SAW.
Pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang merupakan puncak acara sekaten
diselenggarakan Garebeg Mulud.
Selama smeinggu menjelang hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW, gamelan Kiai Sekati diletakkan di pagongan (tempat
gong/gamelan) utara dan pagongan selatan, di kompleks Masjid Agung. Gamelan itu
ditabuh atau dibunyikan secara terus-menerus, kecuali pada waktu-waktu solat
dan pada malam jum’atsampai lewat waktu solat jum’at. Gendhing-gendhing atau
lagu-lagu instrumentalia yang diperdengarkan silih berganti, konon diciptakan
oleh para wlai, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri, dan Sunan
Kudus. Karena gendhing-gendhing itu diciptakan untuk menyiarkan agama islam,
maka tidak mengherankan jika nama-namanya berasal dari bahasa Arab dan
dilafalkan dengan lafal Jawa, antara lain: Salatun, Subinah, Ngajatun, Sumiyah,
dan Jaumi.
Bulan Hijriah Robiul awal dalam
kalender Jawa disebut bulan mulud. Itulah sebabnya perayaan Sekaten yang
dilakukan oleh orang Jawa disebut Sekatenan juga disebut Garebeg Mulud.
Sekatenan atau Garebeg Mulud ini diselelenggarakan di Keraton, baik di Keraton
Kasunanan Surakarta maupun di Keraton Kesultanan Yogyakarta. Perayaan Garebeg
Mulud biasanya juga dimanfaatkan untuk melakukan Pasowanan (menghadap Raja).
Puncak acara Garebeg Mulud atau
Pasowanan Mulud atau Sekaten adalah pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW dan
Salawat Nabi di Masjid Agung oleh Kiai Kanjeng Pengulu yang disaksiskan oleh
Sultan atau Sunan. Dalam Pasowanan itu Sultan atau Sunan memberi sedekah
sejumlah uang logam kepada Masjid Agung, para abdi dalem golongan utama, dan
para abdi dalem golongan wiyaga. Yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat
adalah arak-arakan sesajian berupa gunungan (tumpeng raksasa). Setelah do’a
untuk keselamatan, kesentosaan dan kesejahteraan raja, keluarga raja, dan
seluruh rakyat dibacakan. Tumpeng disedekahkan kepada rakyat. Pada saat itu
tumprng sangat diperebutkan. Menurut kepercayaan orang Jawa, siapa yang
mendapat bagian dari tumpeng itu berarti mendapat berkah dari raja.